BANDARLAMPUNG (ISN) – Banyaknya pungutan pada Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL) hingga kini masih jadi polemik. Sebab Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri tidak bisa dijadikan dasar menarik pungutan pada program sertifikasi tanah pengganti Prona.
Jika tetap dilakukan, maka rawan disebut pungli dan jadi target Operasi Tangkap Tangan (OTT)
Penegak Hukum jika tetap dilakukan. Bahkan sebaliknya, SKB tiga menteri tersebut menimbulkan kerancuan pada tataran hierarki, baik peraturan perundang-undangan maupun pada penerapannya.
Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2018, tujuan dari PTSL adalah untuk mempercepat pelayanan kepada masyarakat terhadap kepastian hukum hak atas tanah, serta mencegah terjadinnya konflik pertanahan.
Menyikapi persoalan tersebut Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Komite Aksi Masyrakat dan Pemuda Untuk Demokrasi (KAMPUD) menyatakan bahwa PTSL sebagai proses pendaftaran tanah pertama kali, yang dilakukan serentak dan meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftarkan, Melalui program PTSL, pemerintah memberikan jaminan kepastian hukum atau hak atas tanah yang dimiliki masyarakat, yang biayanya ditanggung oleh Pemerintah/gratis.
“Apabila mengetahui adanya pungutan PTSL Dapat dilaporkan ke Satgas Saber Pungli, disetiap daerah tentunya sudah ada tim Saber pungli. Persoalan ini Bisa dijerat sesuai ketentuan yang berlaku, bisa sanksi administrasi maupun sanksi pidana terhadap penyelanggara yang mengenakan tarif pada akses layanan publik yang non tarif/gratis,” ungkap Ketua DPW LSM KAMPUD, Seno Aji, SH, MH, Minggu (4/9/2022) kemarin.
Dijelaskan Seno Aji bahwa, Inpres ini didukung oleh Keputusan 3 menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri ATR/KBPN, dan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal.
“Hingga kini masih banyak di Desa, Kelurahan yang ada program PTSL memungut biaya lebih dari yang ditentukan. Pungutan yang melebihi ketentuan dari SKB 3 Menteri, berarti tidak memiliki dasar hukum. Berarti setiap pungutan ada unsur pidananya. Masyarakat bisa melapor,” tuturnya.
Sementara itu, Akademisi Hukum, Deden Syahidin, SH, MH, menyatakan bahwa dalam pelaksanaan pungutan PTSL dapat dijerat dengan hukum KUHPidana. Bagi warga yang melihat, mengetahui dapat melaporkan hal tersebut kepada Tim Saber Pungli.
“Ya bisa dipidana, pungutan diluar ketentuan adalah pungutan liar dan ada pidananya. Warga bisa melapor ke APH dengan disertai alat bukti dan barang bukti karena telah dirugikan. Oknum Pelaku pungli bisa dijerat hukum diancam dalam pasal 368 KUHP. Warga dapat meminta bantuan apabila ingin mengadukan hal tersebut melalui ke LSM atau ke kantor advokat atau ke lembaga hukum lain, karena warga dilindungi oleh UU Sepanjang bukti dan saksi ada,” tutur Akademisi Hukum, Deden Syahidin, SH, MH, Minggu (4/9/2022) kemarin.
Menurut Deden Syahidin Kejaksaan akan terus melakukan pendampingan apabila terdapat misinformasi ataupun indikasi yang berujung pada ketidakbenaran cara yang dilakukan siapapun, termasuk kades atau perangkat desa/kelurahan atau pun oknum yang mengatasnamakan.
Dicontohkannya, biaya setiap pemohon PTSL tidak boleh lebih dari Rp. 200.000,- yang diperuntukan untuk pengadaan 3 patok, 1 materai, dan biaya operasional (Penggandaan, angkutan, pemasangan patok dan transportasi). Bila dirasakan kekurangan patok dikarenakan luas tanah yang memerlukan patok lebih dari 3, maka penambahan patok dipenuhi oleh pengusul berupa patok bukan berupa uang.
“Untuk mencegah terjadinya pungli (pungutan liar) dalam setiap pengerjaan PTSL, harus ada kepanitiaan PTSL yang isinya dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat. Panitia tersebut bukan kepala desa sampai perangkat dibawahnya. Melainkan dari kelompok masyarakat (Pokmas) yang dibentuk dengan kesepakatan bersama.
Bagi Masyarakat yang mengalami atau menemukan praktik pungli juga diminta melaporkannya ke pihak Kepolisian ataupun Kejaksaan sebagai Aparat Penegak Hukum,” ungkap Akademisi Hukum.
Dijelaskannya, Pada tahun 2019 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan Satuan Tugas Sapu Bersih Pemberantasan Pungutan Liar (Saber Pungli) untuk menginvestigasi masalah pungli dalam penerbitan sertifikat tanah (PTSL). Masyarakat yang mengalami atau menemukan praktik ini juga diminta melaporkannya ke Aparat Penegak Hukum. (RED)