Penggunaan Fermentasi Dengan Bahan Hewan Dan Sayuran Sebagai Bahan Media Budidaya Cacing Sutra (Tubifex SP)
Oleh: Umidayati, S.Pi., M.Tr.Pi (SUPM Kotaagung)
Tanggamus (ISN) – Cacing sutera merupakan pakan awal larva yang memiliki kandungan protein tinggi dan memiliki ukuran yang sesuai dengan bukaan mulut larva untuk mengetahui media fermentasi terbaik dengan bahan hewani dan nabati dengan perbedaan dosis yang berbeda untuk budidaya cacing sutera pengganti kotoran ayam, 25% silase ikan + 25% limbah sayuran + 10% dedak + 40% limbah tahu + 10 ml molase + 1 ml probiotik + 100 ml air),menunjukkan pertumbuhan tertinggi diperoleh dengan rata-rata biomassa absolut 39.496 ± 1.080 g / container sedangkan nilai produktivitas 454.14 ± 9.001 gram.
Pembuatan Wadah Kultur
Wadah berupa akuarium dengan ukuran 30 ×40 × 15 cm (0,12 m2) sebanyak 15 buah.Wadah diletakkan pada rak yang terbuat dari besi.Wadah pemeliharaan dilengkapi oleh kran aerasi sebanyak 2 buah.Selain itu, bak penampungan yang digunakan dilengkapi filter serta pompa.Wadah pemeliharaandilubangi pada satu bagian untuk dijadikan lubangoutletdengan debit air sebesar 0,35L/menit.
Pembuatan Media Kultur
Bahan silase by product pengolahan ikan, ampas tahu, dedak padi, limbah sayuran sawi difermentasi dengan menggunakan probiotik dan molase.Masrurotun et al., (2014) menunjukkan bahwa fermentasi dilakukan dengan cara mengunakan probiotik yang terlebih dahulu diaktifkan dengan molase 1 ml, probiotik 10 ml dan air 100 ml serta dilengkapi aerasi selama 2-6 jam.Bahan yang digunakan ditimbang sesuai dengan dosis dan kemudiandilakukan pencampuran larutan aktivasi probiotik dengan perbandingan 1:1 pada bahan yang difermentasi sesuai dengan perlakukan yang diterapkan.Pencampuran dilakukan hinggalarutan bersifat homogen.Larutan kemudian difermentasi selama 7 hari.Hasil fermentasi kemudian dicampur dengan lumpur halus yang sudah dibersihkan dan diayak.Ketebalan lumpur yang digunakan adalah 4-6 cm. Hasil campuran 4 bahan fermentasi dengan lumpur ditambahkan air setinggi 4 cm dari permukaan lumpur dankemudian difermentasi kembali selama 7 hari.Bibit cacing sutra ditebar pada media.
Kultur Cacing Sutera
Bibit cacing sutra ditanam pada media penelitian dengan jarak 7-10 cm sebanyak 2,5g/lubang titik tanam. Total titik tanam yaitu sebanyak 6 lubang sehingga total bibit yang ditanam secara keseluruhan yaitu sebanyak 15g/wadah (Efendi dan Tiyoso, 2017), dengan kisaran tebar sebanyak 10-25 untuk budidaya cacing sutra (Poluruy et al., 2019).
Pemberian Pakan
Pemberian pakan dilakukan dengan menggunakan dosis sebesar 0,25 kg/m2(Masrurotun et al., 2014). Pemberian
pakan dilakukan sebanyak satu kali sehari dengan cara mematikan aliran air tertebih dahulu selama 10 menit agar pakan yang diberikan tidak terbawa arus air.Pemberian pakan dilakukan pagi hari denganpakan ditebar secaramerata pada permukaan media.Aliran air kemudian dihidupkan kembali setelah pemberian pakan selesai.Pemberian pakandilakukan selama 21 hari pemeliharaan.Bahan pakan yang digunakan dalam penelitian sesuai dengan perlakukan penelitian.
Pengelolaan Air
Pengukuran parameter air berupa suhu, pH dan oksigen terlarut (DO) dilakukan setiap 7 hari sekali pada pagi hari.Parameter nitrit, nitrat dan amonia dianalisis pada awal penelitian dan akhir penelitian. Pengaturan kecepatan pada klep pengatur debit air yang keluar di dalam media budidaya dilakukan sehingga tetap berada pada kecepatan 0,35liter/menit.Penambahan air pada bak penampungan air dilakukan selama seminggu sekali.
Panen
Aliran air selama 1 jam sebelum panen agar cacing muncul ke permukaan dan membentuk koloni. Cacing yang sudah bergerombol diambil dan diletakan pada wadah yang berbeda.Cacing yang masih tersisa di dalam substrat dituangkan ke dalam penyaringhalus kemudian dialiri air untuk memisahkan substrat dengan cacing.Cacing yang telah dipisahkan diletakkan pada wadah dengan penutup plastik hitam.Hal tersebutbertujuan untuk mengurangi oksigen dalam wadah sehingga cacing berkoloni untuk mempermudah proses panen. Cacing hasil panen kemudian ditimbang biomassanya dan dilakukan pengujian.
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan meliputi inkubator, oven, autoklaf, neraca analitik, laminar flow, tabung reaksi, cawan petri, bunsen, erlemeyer, dan jarum ose.
Media uji yang digunakan yaitu SSA (Salmonella Shigella Agar), SCA (Simmon’s Citrate Agar), SIM (Solid Indol Motility),dan APW (Alkaly Pepton Water), reagen pewarnaan gram, methyl red, glukosa, sukrosa, kertas oksidase, dan akuades (Nasional, 2006)
itu, diketahui bahwa kandungan karbohidrat hasil fermentasi yaitu sebesar 79,13% serta mengandung protein tertinggi yaitu pada silase ikan sebesar 38,3%. Nutrien pada media dapat dimanfaatkan dengan baik oleh bakteri dan kemudian dikonsumsi oleh cacing sutra dalam proses perombakan bahan organik. Haltersebut didukung oleh pernyataan Fajri, et al.,(2014);Syam et al., (2011);Febrianti (2004) bahwa pertumbuhan cacing sutra membutuhkan protein dan karbonhidrat yang tinggi sebagai sumber makanan.
Perlakuan | Protein (%) | Lemak (%) | Abu (%) | Karbonhidrat(%) |
A | 50,58 | 2,04 | 0,9 | 4,18 |
B | 52,95 | 2,25 | 0,91 | 3,78 |
C | 55,1 | 2,3 | 0,97 | 3,41 |
D | 58,57 | 2,44 | 0,7 | 2,03 |
E | 51,6 | 2,35 | 0,9 | 2,21 |
Pembahasan
diketahui bahwa cacing sutra hasil budidaya memiliki protein tinggiyaitu pada dengan kandungan silase ikan sebesar 25%, limbah sayuran 10%, dedak 25 %, dan ampas tahu 40% dengan kadar protein pada cacing sutra yaitu sebesar 58,57%. Kandungan protein pada seluruh perlakuan memiliki kisarankonsentrasi protein yaitu 50,38 – 58,7%dimana kisaran nilai tersebut sama dengan hasil penelitian(Buwono , 2000; Chilmawati et al., 2015;Khairuman dan Sihombing, 2008). Bahan organik hasil fermentasi memiliki kandungan nutrien seimbang sehingga kandungan C dan N sebagai nutrisi dapat dimanfaatkan dengan baik oleh bakteri sebagai sumber makanan untuk pertumbuhan cacing sutra.Nilai nutrien yang tinggi pada cacing sutra hasil penelitian dengan menggunakan metode fermentasi pada bahan dan pakan dapat dimanfaatkan dengan baik oleh bakteri sebagai makanan cacing sutra.Pakan yang diberikan setiap hari juga dapat mempengaruhi perkembangan cacing sutra. Menurut Solang et al., (2014)bahan pakan yang diberikandimanfaatkan untuk pertumbuhan serta mendukung produksi telur cacing sutra.
Pembahasan
Pengujian bakteri pada cacing sutra
Hasil pengujian bakteri pada cacing sutra pada Laboratorium Loka Pemeriksaan Penyakit Ikan Lingkungan (LP2IL) Serang seluruh perlakuan negatif terhadap keberadaanSalmonella sp. Hal tersebut sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 32924 Tahun 2009 Hasil pengujian pada media SSA (Salmonella Shigella Agar) dengan goresan Lactose broth menggunakan jarum ose diinkubasi selama 24 jam dalam suhu 35oC menunjukkan bahwa tidak tumbuh koloni berwarna hitam sehingga dapat disimpulkan bahwa penggunaan media organik ramah lingkungan tidak mengandungSalmonella sp.
Media (SSA) Salamonela sp Negatif
Hasil pengujian bakteri pada cacing sutra uji menunjukkan bahwa tidak terdapat koloni yang tumbuh Salmonella sp.yang merupakan koloni berwarna hitam pada media SSA.
Pembahasan
suhu pada tiap perlakuan berada pada kisaran normal 25.8 – 26.75oC. Hal tersebut sesuai dengan pendapat dari Fadhlullah et al., (2017)bahwa cacing sutra dapat tumbuh secara optimal pada kisaran suhu 23-27oC.rata – rata pertumbuhan 44,20g menunjukkan suhu tertinggi dari seluruh perlakuan dengan nilai 25,75oC. Hossain et al.,(2011) menyatakan bahwa kisaran suhu 25oC pada cacing sutra Tubifexsp meningkatkan produksi kokot telur.
Berdasarkan hasil pengukuran kadar oksigen terlarut menunjukan rata-ratanilai yaitu 4,5-5,6 mg/L. Jumlah oksigen terlarut dalam air berasal dari hasil fotosintesa dan absorbsi dari atmosfer/udara. Oksigen terlarut dimanfaatkan oleh biota akuatik untuk proses respirasi dan pembakaran bahan makanan dalam tubuh.Kandungan oksigen terlarut yang rendah dapat mengakibatkan proses dekomposisi bahan organik sehingga menyebabkan ammonia dan pH meningkat. Menurut Fadhlullah (2017), kisaran kelayakan oksigen terlarut untuk cacing sutra adalah 2,5-7 mg/L. sebesar 4,88mg/L, dan sehingga tampak bahwa hasil penelitian baik untuk pertumbuhan cacing sutra dapat dilihat padaCacing sutra (Tubifex sp.) hidup berkoloni dengan bagian ekornya berada dipermukaan dan berfungsi sebagai alat bernafas dengan cara difusi langsung dari udara. Cacing sutra tidak mempunyai insang dan memiliki tubuh yang kecil dan tipis. Tubuh cacing sutra yang kecil dan tipis memungkinkan pertukaran oksigen dan karbondioksida pada permukaan tubuhnya yang banyak mengandung pembuluh darah (Kandang dan Tarigan, (2014).Tubifex sp.pada umumnya membuat tabung pada lumpur di dasar perairan dimana bagian posterior tubuhnya menonjol keluar dari tabung bergerak bolak-balik dan bergerak melambai secara aktif di dalam air sehingga terjadi sirkulasi oksigen pada air dan cacing memperoleh oksigen melalui permukaan tubuhnya.Getaran pada bagian posterior tubuh dari Tubifex sp, dapat membantu pernafasan. Cacing sutra dapat hidup pada perairan yang berkadar oksigen terlarut rendah Supriyono et al., (2015).
Bersadarkan hasil pengamatan kadar pH diliahat pada penelitan nilai rata–rata dari semua perlakukan masih dalam batas toleransi (6,7–7,2).Faktor yang mempengaruhi pH suatu perairan adalah konsentrasi karbondioksida dan senyawa yang bersifat asam.Nilai pH air mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi kehidupan jasad renik.Pada media dengan pH rendah, kandungan oksigen terlarut berkurang sehingga aktivitas pernafasan meningkat dan selera makan ikan berkurang. Pada budidaya cacing sutra, kisaran pH yang baik adalah 6-7,6 Ngatung et al., (2017).
Sumber ammonia pada perairan merupakan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air yang berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) oleh mikroba dan jamur (Efendi 2013).Ammonia (NH3) tidak terisolasi dalam airsehingga bersifat toksik terhadap organisme akuatik. Toksisitas ammonia terhadap organisme akuatik meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, pH dan suhu. MenurutArrate et al.,(2004), cacing sutra dapat beradaptasi terhadap konsentasi ammonia yang tinggi yaitu 4-12 mg/L. Pada hasil penelitian, nilai ammonia berada di bawah 4mg/L dengannilai tertinggi yaitu pada perlakukan A (3,1,mg/L). Hal tersebut karena terjadi proses pembusukan yang tinggi pada fermentasi silase ikan yang belum sempurna sehingga perombakan pada wadah budidaya.
KESIMPULAN
Pengunaan bahan organik untuk media budidaya dengan dosis silase ikan 25%,limbah sayuran 10%, dedak 25%, dan ampas tahu 40% menghasilkannilai terbaik pada pertumbuhan mutlak 39,496 ± 1,080 g/wadah dan produktivitas 454,14 ± 9,00g/m2/siklus.Kisaran kualitas air optimal pada perlakuan tersebut yaitu dengan suhu 25,18oC, pH 6,7, DO 4,9 mg/L, amonia 1,3 mg/L, nitrat 0,15 mg/L, dan nitrit 0,07mg/L. Pada hasil penelitian mengunakan bahan limbah organik ramah lingkungan tidak terkontaminasi oleh bakteri salmonella sp.