Di usia 70 tahun yang tengah dijalaninya, bepergian jauh tentu sudah tak lagi terlalu menarik hati Siti Hardiyanti Rukmana. Apalagi bila perjalanan itu dilakukan lewat transportasi darat, ke sebuah tempat yang jaraknya ratusan kilometer dari kediaman, tempat ia biasa bercengkerama dengan cucu-cucu di usia mereka yang lucu-lucu.
Namun tidak demikian buat Mbak Tutut, demikian putri pertama Presiden Soeharto itu biasa disapa. Barangkali benar, perjalanan yang bolak-balik memerlukan waktu dalam cakupan hari itu membuatnya berjarak dengan anak dan cucu. Mungkin iya, waktunya untuk momong cucu dan memberikan kasih sayang serta atikan budi pekerti itu terkurangi.
Namun Mbak Tutut melihat lain. Di sana, pada rentang jarak ratusan kilometer itu ada sekian banyak warga masyarakat menunggu. Mereka telah menyatakan rindu. Tak hanya untuk bertemu, karena seringkali pertemuan dirinya dengan warga itu menjadi tempat mereka mengadu.
Maka seperti sekian kali malam-malam terdahulu, Kamis malam 21 Maret lalu pun menjadi saksi tinggi dan dalamnya kepedulian Mbak Tutut untuk kemaslahatan negeri. Sedikit lewat tengah malam, segera setelah pintu mobil ditutupkan, rombongan pun bergerak cepat. Tujuannya Keresidenan Banyumas, tepatnya Desa Jambudesa, Kecamatan Karang Anyar Kabupaten Purbalingga. Esok hari, pagi-pagi sekali, bersama para petani dan warga yang bersuka cita memetik jerih payah, Mbak Tutut, Tommy Soeharto dan Bambang Trihatmodjo akan ikut berpanen raya.
“Di mobil ini, selama perjalanan saya seringnya tidur,” kata Mbak Tutut kepada wartawan di Hotel Desa Wisata, Taman Mini, sepekan sebelumnya. Mbak Tutut sedikit terkekeh. Mungkin agak geli dengan pertanyaan wartawan yang ‘kepo’ sampai bertanya apa saja yang dilakukannya selama perjalanan-perjalanannya menyapa warga di sekian banyak daerah itu.
Di mobil Mercedes Sprinter Van yang kerap disopiri Iqbal dan Syamsul itulah memang, sekian waktu Mbak Tutut selama perjalanan dilewatkan. Mobil van yang lebih besar daripada VW Caravelle itu memang tampaknya nyaman. Tetapi jangan pernah lupa bahwa di usia yang tak lagi muda, kegiatan yang dilakukan Mbak Tutut tergolong membutuhkan stamina dan semangat di atas rata-rata. Asal tahu saja, jarak Jakarta-Purwokerto setidaknya 354 km.
“Selama perjalanan, kami dua kali sempat beristirahat di rest area,” kata Tomo, anggota rombongan yang berada di kendaraan lain. Sekali di jalur tol Cipali, sekali lagi di perjalanan antara Cirebon-Tegal. “Ibu Tutut keluar sekali, untuk pergi ke toilet,” kata dia.
Rombongan itu sampai di tempat transit di Purwokerto sekitar pukul 06.30 pagi. Hanya ada waktu sekitar satu jam buat Mbak Tutut sebelum bergerak lagi untuk ikut berpanen raya di Purbalingga. Saat menyapa wartawan sebelum kembali masuk mobil, dan bergerak, paras muka Mbak Tutut tak sedikit pun menampakkan keletihan.
“Wajah itu cerminan jiwa kita,” kata Mbak Tutut, saat kembali bertemu wartawan di kediaman adiknya, Bambang Tri, di Purwokerto, siang usai acara panen raya. “Bila batin kita senang dan bahagia, wajah kita pun akan secerah kebahagiaan yang kita rasa.”
Namun memang bagaimana mungkin Mbak Tutut tak akan senang. Hari itu ia akan bertemu saudara-saudara yang sangat disayanginya. Ia datang untuk menemani adiknya, Tommy Soeharto, ketua umum Partai Berkarya yang membina para petani yang tengah berbahagia itu. Ada pula Bambang Tri, yang tak kurang memberikan dukungan bagi aktivitas social adik mereka berdua.
“Bapak dan Ibu selalu meminta kita rukun dengan saudara. Meminta kami saling dukung, saling membesarkan. Jadi ini juga bagian dari bakti saya kepada kedua orang tua kami,” kata Mbak Tutut.
Berkaitan dengan sang ayah, menurut Mbak Tutut ada juga hal yang menjadi resep istimewa untuk menjaga staminanya dalam berkarya demi kemaslahatan bersama.
“Bapak selalu berpesan, “Nduk, libatkanlah selalu Tuhan dalam perjalanan hidupmu. Jangan sekali-kali kamu meninggalkan-Nya,” kata Mbak Tutut.
Tak heran bila saat panen raya itu Mbak Tutut terlihat sangat menikmati. Menikmati dialog dan percakapan dengan warga selama acara. Turut senang melihat wajah-wajah ceria penuh harapan dari para petani dan keluarganya di sawah tempat acara digelar. Tampak jelas, ada saling isi kegembiraan pada panen raya itu. Para petani bahagia tak hanya karena hasil panennya, tetapi juga karena kehadiran Mbak Tutut. Sementara Mbak Tutut sendiri terlihat menyesap keceriaan warga yang menjadi atmosfer acara tersebut.
Sungguh beruntung, keduanya saling memberikan bahagia. Sebab bukankah agama juga menegaskan, salah satu amal ibadah yang sangat disenangi Tuhan dilakukan umatNya adalah manakala umatnya memasukkan kebahagiaan ke dalam hati sesama. (*)